Wanita
dalam Pandangan Romawi
Dalam budaya Romawi, ada sebuah
ungkapan, “Wanita tidak mendapatkan posisi terhormat, bahkan diperlakukan
seperti anak-anak dan orang-orang gila”
Mereka
adalah bangsa yang telah mencapai puncak kejayaan dan ketinggian setelah bangsa
Yunani. Kita melihat aturan-aturan bansa Romawi ini condong kepada kezaliman,
kejahatan, dan penyiksaan terhadap kaum wanita. Diantara ucapan mereka yang
berkaitan dengan wanita adalah “Sesungguhnya, belenggu belum tercabut dan
benangnya belum lepas”. Dengan kata lain, di dalam masyarakat mereka, seorang
suami memiliki hak penuh terhadap istrinya, sebagaimana hak raja terhadap
rakyatnya. Sehingga, sang suami berhak mengatur istrinya sesuia dengan hawa
nafsunya. Kaum laki-laki mendang kaum wanita hanya sebagai pelampiasan nafsu
berahi, tidak lebih dari itu.
Sebagaimana
dikatakan Euis Daryabnti bahwa dalam pandangan kaum Romawi, perempuan atau
wanita tidak mempunyai ruh manusiawi. Oleh karena itu, menurut mereka, pada
hari kiamat kelak, para perempuan tidak akan dibangkitkan, karena yang akan
dibangkitkan pada hari itu adalah hanyalah yang memiliki ruh manusiawi. Bahkan,
mereka juga menganggap bahwa perempuan sebagai penjelmaan dari setan dan
berbagai macam arwah pengganggu, yang tipu dayanya selalu berusaha untuk
menutup akal dan hati. Oleh karena itu, mereka melarang perempuan dari tertawa
dan berbicara.
Perempuan
tidak lebih sebagai barang dagangan yang bisa diperjualbelikan. Di hadapan
suami dan ayah, wanita tidak mempunyai hak milik, hak bergaul, dan hak
berpergian. Bahkan, lebih parah dari itu, wanita tidak mempunyai hak untuk
hidup. Kapan saja si ayah merasa perl, dai dapat menjual, menyewakan, bahkan
membunuh sang anak. Begitu pun, perempuan tidak mempunyai hak pilih dalam
memilih calon suami. Apa pun yang di putuskan oleh walinya, maka perempuan
harus menerima ketetapan tersebut.
Untuk
itu, wanita sepenuhnya berada dalam kekuasaan sang ayah. Setelah menikah,
kekuasaan tersebut pindah ke tangan sang suami. Kekuasaan ini mencakup
kewenangan menjual, mengusir, menganiaya, dan membunuh. Keadaan tersebut
berlangsung terus sampai abad ke-6 Masehi. Segala hasil usaha wanita menjadi
hak milik keluarga laki-lki. Pada zaman kaisar Contantine, terjadi sedikit
perbahan, yaitu dengan diundangkannya hak kepemilikan terbatas bagi wanita,
denagan catatan bahwa setiap transaksi harus di setujui oleh keluarga (suami
atau ayah)
Kaum
laki-laki hidup di atas persaingan untuk meraih wanita telanjang. Mereka juga
mempermudah urusan perceraian karena persoalan sangat sepele. Banyaknya
perceraian itu mengakibatkan wanita menganggap kebaikan hidup mereka
berdasarkan jumlah suami, tanpa memiliki rasa bersalah dan malu. Bahkan, yang
lebih aneh dari itu semua, sebagaimana yang disebutkan oleh A-Qudai Jaarum
(340-420 Masehi), seorang wanita menikah terakhir kali pada hitungan yang
ke-23, sementara dia merupakan istri yang ke-21 bagi suaminya yang baru.
Akibat
dari semua keadaan itulah, negara Romawi mengalami kehancuran yang keji,
sebagaimana hancur-nya bangsa Yunani sebelumnya. Semua itu terjadi karena
mereka tenggelam dalam syahwat kebinatangan, yang tidak pantas terjadi kepada
hewan apalagi terhadap manusia.
This is dummy text. It is not meant to be read. Accordingly, it is difficult to figure out when to end it. But then, this is dummy text. It is not meant to be read. Period.